SUNGAILIAT – Penegakan hukum terhadap para pengusaha timah yang
melanggar Undang-undang Minerba Nomor 4 tahun 2009 di Provinsi Bangka
Belitung, sepertinya sangat tumpul. Sementara bagi penambang rakyat atau
pelaku tindak pidana lainnya, pemberlakukan hukum begitu tajam.
Hal itu terbukti dalam kasus penampungan pasir timah yang bukan berasal dari IUP nya oleh terdakwa Jasudin Jusuf alias Khi Sian warga Jalan Laut Sungailiat, Kabupaten Bangka. Bos Timah ini, meski dijerat dan terbukti bersalah melanggar Pasal 161 UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, hanya dihukum 3 bulan penjara. Hukuman dendanya pun hanya sebesar Rp10 juta dengan subsidair 3 bulan kurungan.
Vonis terhadap pengusaha pengepul pasir timah yang gudangnya sempat digerebek langsung Kapolres Bangka, AKBP I Bagus Rai Elriyanto medio Maret 2014 silam itu, kemarin Kamis (4/12/2014) dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sungailiat. Dalam amar putusannya jelang magrib kemarin, Ketua Majelis Hakim yang juga Ketua PN Sungailiat, Arizuduhu menyatakan Khi Sian tetap ditahan dan 800 kampil pasir timah atau sekitar 37 ton dirampas oleh negara.
Pantauan saat sidang berlangsung, Khi Sian duduk di kursi pesakitan menggunakan rompi hijau tahanan Kejaksaan Negeri Sungailiat, dipadu baju berkerah dengan celana panjang warna hitam dan sepatu kulit. Wajah warga keturunan itu tampak layu namun serius mendengarkan putusan yang dibacakan hakim.
Dalam amar putusannya, hakim menilai Ki Sian terbukti bersalah lantaran telah menampung pasir timah sebanyak 800 kampil di gudang samping rumahnya tanpa izin. Pasir timah itu juga bukan berasal dari IUP miliknya.
“Menetapkan Ki Sian terbukti bersalah karena melakukan penampungan pasir timah yang bukan berasal dari IUP nya sebagaimana di atur dalam Pasal 161 UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, dengan hukuman 3 bulan penjara,” kata Arizuduhu.
“Menetapkan terdakwa tetap ditahan serta barang bukti berupa pasir timah sebanyak 800 kampil dirampas oleh negara. Begitu putusan majelis hakim, Saudara dinyatakan bersalah,” tegasnya menambahkan.
Atas putusan yang dibacakan, Arizuduhu menanyakan kepada terdakwa serta Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Sungailiat apakah menerima putusan yang langsung dijawab mereka menerima putusan tersebut.
Usai persidangan, Ki Sian yang didampingi anggota keluarganya langsung keluar dari ruang sidang menuju mobil tahanan Kejari Sungailiat. Sejumlah wartawan yang mencoba mengabadikan terdakwa digiring ke mobil tahanan, sempat dihalang-halangi keluarga terdakwa.
Dengan wajah lesu dan jalan yang lunglai, membuat Ki Sian disoraki oleh para tahanan sebagai artis. Tak sepatah kata pun yang diucapkan Ki Sian saat memasuki mobil tahanan. Ia kembali dikirim ke penjara di Lapas Bukit Semut Sungailiat.
Hal itu terbukti dalam kasus penampungan pasir timah yang bukan berasal dari IUP nya oleh terdakwa Jasudin Jusuf alias Khi Sian warga Jalan Laut Sungailiat, Kabupaten Bangka. Bos Timah ini, meski dijerat dan terbukti bersalah melanggar Pasal 161 UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, hanya dihukum 3 bulan penjara. Hukuman dendanya pun hanya sebesar Rp10 juta dengan subsidair 3 bulan kurungan.
Vonis terhadap pengusaha pengepul pasir timah yang gudangnya sempat digerebek langsung Kapolres Bangka, AKBP I Bagus Rai Elriyanto medio Maret 2014 silam itu, kemarin Kamis (4/12/2014) dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sungailiat. Dalam amar putusannya jelang magrib kemarin, Ketua Majelis Hakim yang juga Ketua PN Sungailiat, Arizuduhu menyatakan Khi Sian tetap ditahan dan 800 kampil pasir timah atau sekitar 37 ton dirampas oleh negara.
Pantauan saat sidang berlangsung, Khi Sian duduk di kursi pesakitan menggunakan rompi hijau tahanan Kejaksaan Negeri Sungailiat, dipadu baju berkerah dengan celana panjang warna hitam dan sepatu kulit. Wajah warga keturunan itu tampak layu namun serius mendengarkan putusan yang dibacakan hakim.
Dalam amar putusannya, hakim menilai Ki Sian terbukti bersalah lantaran telah menampung pasir timah sebanyak 800 kampil di gudang samping rumahnya tanpa izin. Pasir timah itu juga bukan berasal dari IUP miliknya.
“Menetapkan Ki Sian terbukti bersalah karena melakukan penampungan pasir timah yang bukan berasal dari IUP nya sebagaimana di atur dalam Pasal 161 UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, dengan hukuman 3 bulan penjara,” kata Arizuduhu.
“Menetapkan terdakwa tetap ditahan serta barang bukti berupa pasir timah sebanyak 800 kampil dirampas oleh negara. Begitu putusan majelis hakim, Saudara dinyatakan bersalah,” tegasnya menambahkan.
Atas putusan yang dibacakan, Arizuduhu menanyakan kepada terdakwa serta Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Sungailiat apakah menerima putusan yang langsung dijawab mereka menerima putusan tersebut.
Usai persidangan, Ki Sian yang didampingi anggota keluarganya langsung keluar dari ruang sidang menuju mobil tahanan Kejari Sungailiat. Sejumlah wartawan yang mencoba mengabadikan terdakwa digiring ke mobil tahanan, sempat dihalang-halangi keluarga terdakwa.
Dengan wajah lesu dan jalan yang lunglai, membuat Ki Sian disoraki oleh para tahanan sebagai artis. Tak sepatah kata pun yang diucapkan Ki Sian saat memasuki mobil tahanan. Ia kembali dikirim ke penjara di Lapas Bukit Semut Sungailiat.
Dua LSM Menyindir
Sementara itu, vonis hakim terhadap pemilik pasir timah seberat 37,7 ton
yang ditangkap jajaran Polres Bangka ini dikritisi kalangan aktivis
LSM. Terlebih Ki Sian yang baru merasakan masa tahanan 2 minggu,
sepertinya segera berlenggang bebas karena hanya divonis 3 bulan
penjara.
Direktur Walhi Babel, Ratno Budi kepada wartawan tadi malam malah tertawa mendengar putusan yang dikenakan bagi Ki Sian. Menurutnya, vonis tersebut sangat janggal lantaran undang-undang memandatkan bagi terpidana kasus Mineral dan Batu Bara harusnya dihukum minimal 3 tahun penjara.
“Yang pasti janggal kalau hanya tiga bulan. Undang-Undang memandatkan bagi terpidana minerba minimal tiga tahun belum termasuk subsider/ denda,” kata dia.
Ratno juga menanggapi di Bangka Belitung khususnya di Pengadilan Negeri Sungailiat, tidak pernah terdengar hakim memberikan vonis berat kepada bos-bos timah yang terjerat kasus hukum. Ia memprediksi 3 bulan adalah vonis yang paling lama bagi para pemain-pemain timah di Babel.
“Kapan pernah kita mendengar bos timah dijerat dan divonis hukuman berat. Sepertinya angka tersebut sudah bisa ditebak dari awal apabila ada kasus-kasus timah yang menjerat pemiliknya apalagi terdakwa-terdakwa yang cukup tersohor di bidang pertimahan di Bangka ini. Yah paling 1,5 bulan sampai 3 bulan angka matinya,” sindirnya sembari tertawa via sambungan telepon tadi malam.
Dengan vonis begitu, Ratno mengatakan hal ini menandakan penegakan hukum dan pemberantasan pelaku ilegal mining masih belum serius ditindak oleh institusi penegak hukum. Dan tentu tidak menutup kemungkinan, peran mafia peradilan turut berkontribusi, mengingat hasil putusan yang tidak sesuai dengan vonis terdakwa sebagaimana diatur dalam UU.
“Seharusnya kepolisian dapat mengembangkan kasus ini guna membongkar kartel industri pertimahan yang tidak bertanggung jawab kepada lingkungan dan merugikan negara. Orang seperti Ki Sian hanya operator,” tukasnya..
Sedangkan Jauhari dari LSM Aliansi Peduli Masyarakat Bangka berujar keras atas vonis tersebut. Pada status Blackberry Massengernya, ia menuliskan “Miris….putusan bos timah (Khi Sian) 37,7 ton hanya 3 bulan penjara..yang bener men wahai aparat penegak hukum..(n)bsk kalo ade kasus besar sy yg nyidangnya.B-)”.
Kepada wartawan tadi malam Jauhari menilai vonis yang diberikan majelis hakim kepada Ki Sian merupakan putusan aneh dan tidak masuk akal. Menurutnya putusan hukum yang dijatuhkan patut dipertanyakan. Karena itu LSM Aliansi Peduli Masyarakat Bangka mempertanyakan jaksa dan majelis hakim mengenai vonis yang terkesan ringan tersebut.
“Sebegitu ringannya hukuman tersebut bila dibandingkan dengan kasus maling sandal dan kasus pencurian kayu jati untuk digunakan masyarakat miskin sebagai kayu bakar yang mereka pungut di Jawa sana dan harus menjalani proses penahanan dan denda Rp2 miliar,” kritiknya.
Jika dibandingkan dengan kasus Ki Sian, perkara maling sandal dan kayu jati kata Jauhari merupakan gambaran bahwa hukuman hanya berlaku bagi masyarakat miskin. Padahal di era keterbukaan publik dan reformasi ini, harusnya aparat penegak hukum berhati hati dalam memvonis suatu kasus yang menjadi sorotan media, masyarakat dan LSM. Terlebih lagi, pasal yang dikenakan kepada Ki Sian memiliki ancaman hukuman 10 tahun penjara.
“Kalau kita menyimak UU No 4 tahun 2009 Pasal 161 tersebut, setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat(3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Bandingkan dengan putusan dan dakwaan jaksa jauh sekali dari penegakkan hukum,” tandas Jauhari.
Kedepan, lanjutnya para kolektor timah, penadah timah, dan para pemain timah ilegal yang ada di negeri ini menganggap ringannya putusan oleh aparat penegak hukum, tidak membuat efek jera dan dianggap biasa.
“Padahal fakta di persidangan dan bukti bukti harusnya bisa menjerat tersangka Ki Sian lebih berat lagi. Bukan karena faktor tersangka berlaku sopan dan kooperatif, mengalami sakit sebagai alasan untuk meringankan hukum bagi tersangka. Bayangkanlah pidana 10 tahun dan denda Rp2 miliar diputuskan hanya tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta,” sesalnya. (2nd/1)
Direktur Walhi Babel, Ratno Budi kepada wartawan tadi malam malah tertawa mendengar putusan yang dikenakan bagi Ki Sian. Menurutnya, vonis tersebut sangat janggal lantaran undang-undang memandatkan bagi terpidana kasus Mineral dan Batu Bara harusnya dihukum minimal 3 tahun penjara.
“Yang pasti janggal kalau hanya tiga bulan. Undang-Undang memandatkan bagi terpidana minerba minimal tiga tahun belum termasuk subsider/ denda,” kata dia.
Ratno juga menanggapi di Bangka Belitung khususnya di Pengadilan Negeri Sungailiat, tidak pernah terdengar hakim memberikan vonis berat kepada bos-bos timah yang terjerat kasus hukum. Ia memprediksi 3 bulan adalah vonis yang paling lama bagi para pemain-pemain timah di Babel.
“Kapan pernah kita mendengar bos timah dijerat dan divonis hukuman berat. Sepertinya angka tersebut sudah bisa ditebak dari awal apabila ada kasus-kasus timah yang menjerat pemiliknya apalagi terdakwa-terdakwa yang cukup tersohor di bidang pertimahan di Bangka ini. Yah paling 1,5 bulan sampai 3 bulan angka matinya,” sindirnya sembari tertawa via sambungan telepon tadi malam.
Dengan vonis begitu, Ratno mengatakan hal ini menandakan penegakan hukum dan pemberantasan pelaku ilegal mining masih belum serius ditindak oleh institusi penegak hukum. Dan tentu tidak menutup kemungkinan, peran mafia peradilan turut berkontribusi, mengingat hasil putusan yang tidak sesuai dengan vonis terdakwa sebagaimana diatur dalam UU.
“Seharusnya kepolisian dapat mengembangkan kasus ini guna membongkar kartel industri pertimahan yang tidak bertanggung jawab kepada lingkungan dan merugikan negara. Orang seperti Ki Sian hanya operator,” tukasnya..
Sedangkan Jauhari dari LSM Aliansi Peduli Masyarakat Bangka berujar keras atas vonis tersebut. Pada status Blackberry Massengernya, ia menuliskan “Miris….putusan bos timah (Khi Sian) 37,7 ton hanya 3 bulan penjara..yang bener men wahai aparat penegak hukum..(n)bsk kalo ade kasus besar sy yg nyidangnya.B-)”.
Kepada wartawan tadi malam Jauhari menilai vonis yang diberikan majelis hakim kepada Ki Sian merupakan putusan aneh dan tidak masuk akal. Menurutnya putusan hukum yang dijatuhkan patut dipertanyakan. Karena itu LSM Aliansi Peduli Masyarakat Bangka mempertanyakan jaksa dan majelis hakim mengenai vonis yang terkesan ringan tersebut.
“Sebegitu ringannya hukuman tersebut bila dibandingkan dengan kasus maling sandal dan kasus pencurian kayu jati untuk digunakan masyarakat miskin sebagai kayu bakar yang mereka pungut di Jawa sana dan harus menjalani proses penahanan dan denda Rp2 miliar,” kritiknya.
Jika dibandingkan dengan kasus Ki Sian, perkara maling sandal dan kayu jati kata Jauhari merupakan gambaran bahwa hukuman hanya berlaku bagi masyarakat miskin. Padahal di era keterbukaan publik dan reformasi ini, harusnya aparat penegak hukum berhati hati dalam memvonis suatu kasus yang menjadi sorotan media, masyarakat dan LSM. Terlebih lagi, pasal yang dikenakan kepada Ki Sian memiliki ancaman hukuman 10 tahun penjara.
“Kalau kita menyimak UU No 4 tahun 2009 Pasal 161 tersebut, setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat(3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Bandingkan dengan putusan dan dakwaan jaksa jauh sekali dari penegakkan hukum,” tandas Jauhari.
Kedepan, lanjutnya para kolektor timah, penadah timah, dan para pemain timah ilegal yang ada di negeri ini menganggap ringannya putusan oleh aparat penegak hukum, tidak membuat efek jera dan dianggap biasa.
“Padahal fakta di persidangan dan bukti bukti harusnya bisa menjerat tersangka Ki Sian lebih berat lagi. Bukan karena faktor tersangka berlaku sopan dan kooperatif, mengalami sakit sebagai alasan untuk meringankan hukum bagi tersangka. Bayangkanlah pidana 10 tahun dan denda Rp2 miliar diputuskan hanya tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta,” sesalnya. (2nd/1)